Akan tetapi Kartini tidak akan semudah itu menyerah untuk bertekad belajar dan memajukan pendidikan.
Sewaktu masa pingit berlangsung, untuk mengatasi rasa bosan ia membaca buku yang dibawa kakaknya.
Setiap buku baru yang dibaca, baik dalam bahasa Belanda, Jawa, atau Melayu, ia membacanya berulang-ulang. Meskipun Kartini berjuang untuk memahami buku itu, dia tidak pernah menyerah.
Dia selalu meminta saudaranya untuk menerjemahkan isi buku yang dia rasa sulit. Kakaknya juga dengan tulus membantu Kartini. Kartini juga ikut majalah budaya dan intelektual yang cukup berat untuk gadis seusianya.
Selain membaca buku, ia juga mengisi waktunya dengan menulis surat yang dikirimkan ke temannya yang ada di Belanda, bernama Estelle Zeehandeelar.
Setelah dirasa cukup dewasa, Kartini terpaksa harus dipingit dan tidak diperbolehkan untuk melanjutkan sekolahnya.
Ia merasa tersiksa karena keinginannya untuk melanjutkan sekolah di Hoogere Burgenscolen (H.B.S) harus kandas begitu saja, ia diharuskan tidak keluar rumah selama masa pingitan.
Bahkan ayahnya yang maju dalam pendidikan pun tidak mampu melawan tradisi yang sudah turun temurun.
Kartini menerima pinangan dari seorang bupati Rembang, bernama Raden Mas Adipati Ario Singgih Joyodiningrat.
Karena memahami keinginan istrinya untuk tetap melanjutkan sekolah, R.A. Adipati Ario Singgih Joyodiningrat memberikan kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama yang berada di kantor pemerintahan Kabupaten Rembang.