Apa Makna dan Hukum Halal bi Halal pada Hari Raya Idul Fitri?

- 25 April 2022, 22:21 WIB
Ilustrasi makna dan hukum Halal bi Halal hari raya Idul Fitri
Ilustrasi makna dan hukum Halal bi Halal hari raya Idul Fitri /Pixabay/Mohamed Hassan.

TRENGGALEKPEDIA.COM - Banyaknya masyarakat muslim dari berbagai kalangan mengadakan acara Halal bi Halal.

Hal ini dikarenakan adanya anggapan dari masyarakat bahwasanya acara Halal bi Halal tersebut adalah bagian dari hari raya Idul Fitri.

Di mana pada kesempatan tersebut, terjadinya proses saling maaf memaafkan sebagaimana yang diperintahkan oleh agama Islam.

Berkaitan dengan hal tersebut, muncul pertanyaan apakah acara Halal bi Halal sebagaimana yang digambarkan di atas adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dengan hari raya Idul Fitri dan bagaimana tinjauannya dari kacamata agama apakah sesuai dengan syariat?

Menurut Quraish Shihab, istilah Halal bi Halal merupakan bentuk kata majemuk yang pemaknaannya bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi hukum dan sisi bahasa.

Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa.

Baca Juga: Kumpulan Ucapan untuk Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1443 H Tahun 2022, Bagikan untuk Orang Terkasih

Dengan demikian, Halal bi Halal dapat membuat sikap kita terhadap pihak lain yang sebelumnya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.

Namun, tinjauan hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan Halal bi Halal itu sendiri yang merupakan untuk mengharmoniskan hubungan.

Karena dalam unsur halal terdapat hukum makruh, tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti menceraikan isteri yang malah lepas dari tujuan mengharmoniskan hubungan.

Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”.

Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”.

Jika demikian, ber-Halal bi Halal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan tali persaudaraan yang kusut, melepaskan ikatan dosa antar saudara dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini adalah tujuan diadakannya Halal bi Halal.

Kata majemuk ini tampaknya memang hanya ada di Indonesia, produk asli negeri ini. Kata Halal bi Halal justru diserap bahasa Indonesia dan dimaknai sebagai “hal saling maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh banyak orang dan merupakan suatu tradisi khas Indonesia”.

Halal bi Halal merupakan suatu tradisi khas Indonesia yakni berkumpulnya sekelompok orang Islam dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal.

Umumnya, kegiatan Halal bi Halal ini diadakan setelah melakukan solat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara Halal bi Halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.

Oleh sebab itu, makna filosofis Halal bi Halal berdasarkan tadi dengan analisa pertama adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan, atau dengan analisis kedua adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Baca Juga: Kata-kata Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1443 H Tahun 2022: Bagikan Kehangatan untuk Orang-orang Terdekat

Tradisi tersebut populer dengan sebutan 'Halal bi Halal', sebuah nama yang digunakan untuk saling bermaaf-maafan yang hanya ditemukan di Indonesia, terlebih di masa awal generasi Islam.

Permasalahannya apakah kemudian Halal bi Halal dikategorikan sebagai bid'ah sayyiah (tercela) yang pelakunya diancam dengan neraka?

Para ulama sepakat, di antaranya dipopulerkan oleh Imam Syafi'i, bahwa: 'Setiap sesuatu yang memiliki dalil dasar dalam agama, maka tidak disebut sebagai bid'ah yang tercela'.

Halal bi Halal memiliki konotasi makna untuk saling meminta kehalalan atau permintaan maaf kepada orang lain terkait dengan perilaku atau perkataan yang menyakiti mereka.

Kalimat 'meminta halal' atau maaf ini bersumber dari sebuah hadis sahih yang berbunyi:

عن أَبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، عن النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: مَنْ كَانتْ عِنْدَه مَظْلمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيتَحَلَّلْه ِمِنْه الْيَوْمَ قَبْلَ أَلَّا يكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمتِهِ، وإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سيِّئَاتِ صاحِبِهِ، فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa pernah berlaku dzalim kepada saudaranya, maka hendaknya ia minta kehalalannya (minta maaf). Karena di sana (akhirat) tidak ada dinar dan dirham (untuk menebus kesalahan). Sebelum amal kebaikan miliknya diambil dan diberikan kepada saudaranya yang didzalimi tersebut. Apabila ia tidak memiliki amal kebaikan, maka amal keburukan saudaranya akan dilemparkan kepadanya" (HR al-Bukhari No 6534)

Madzlamah atau perbuatan dzalim tersebut dijelaskan oleh Rasulullah SAW mencakup dua hal, yakni berbuat salah kepada orang lain secara fisik atau psikis, dan berbuat salah yang berkaitan dengan harta.

Dari perbuatan dzalim tersebut, kita diharuskan meminta halal atau maaf kepada orang yang pernah kita dzalimi.

Kendatipun terlihat remeh dan sepele, namun meminta halal atau maaf ini memiliki hikmah yang sangat bermanfaat, yakni kelak kita tidak melewati peradilan akhirat yang sangat berat sebagaimana dijelaskan dalam hadis tersebut, sehingga kita lebih cepat dalam proses masuk ke surga Allah.

Dari sinilah kita bisa melihat betapa bijaknya para ulama di negara kita yang mampu menerapkan kandungan hadits di atas, di dalam sebuah tradisi lokal yang bisa dilakukan oleh semua kalangan.

Acara Halal bi Halal yang menjadi rutinitas dalam banyak kegiatan, seperti di masjid, perkotaan, perkampungan, tempat kerja, kantor dan komunitas masyarakat lainnya, tidak semata-mata menjadi seremoni belaka.

Nmun menjadi faktor besar dalam kerukunan masyarakat, jauh dari perilaku kriminalitas dan anarkhis, juga turut menjadi penyumbang kondisi masyarakat yang agamis dan taat dalam menjalani kehidupan bernegara.

Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahim merupakan ajaran luhur dalam Islam, yang hendak dimunculkan pada momen lebaran.

Baca Juga: Jelang Lebaran Hari Raya Idul Fitri, Berikut Cara Membuat Kue Bola Coklat Keju Untuk Sajian Lebaran

Walaupun tentu saja setiap saat kaum muslimin harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Tidak terbatas saat Idul Fitri saja. Ini sejalan dengan hadits,

مَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan juga hari akhir, maka sambunglah tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari).

Pada hadits lain disebutkan:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Siapa pun yang ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hakikat dan filosofi Halal bi Halal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan.

Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi Halal.

Dengan catatan tentu memperhatikan hal-hal agar tetap terjaga kesucian Halal bi Halal itu sendiri, seperti membentengi diri dari khalwat (pertemuan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), menjaga diri dari membuka aurat, pamer, menyebarkan aib orang lain, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dengan demikian, hikmah Halal bi Halal dapat kita ambil baik ketika hidup di dunia maupun di akhirat kelak.

Hikmah ketika di dunia adalah kehidupan di lingkungan masyarakat menjadi aman, damai dan menciptakan ketertiban dalam beragama dan bernegara.

Kemudian, hikmah ketika di akhirat, diringankan beban kita dari hak-hak dan kewajiban terhadap sesama manusia.*** (Ika Lestari Bhekti Utami)

Editor: Dani Saputra

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x