Sejarah dan Makna Tradisi Silaturahim Keliling atau Mbarak saat Hari Raya Idul Fitri

26 April 2022, 14:05 WIB
Silaturahim keliling atau mbarak saat lebaran adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh umat muslim di Jawa Timur pada hari raya Idul Fitri. /Tomi/ Trenggalekpedia

TRENGGALEKPEDIA.COM – Selain tradisi sungkeman dan Hahal bi Halal, tradisi mbarak atau silaturahim keliling ketika hari raya Idul Fitri merupakan salah satu dari beberapa tradisi di Nusantara ketika Lebaran.

Silaturahim keliling atau mbarak saat lebaran merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh umat muslim di Jawa Timur pada hari raya Idul Fitri yang biasanya dilaksanakan setelah sholat Ied dan sungkeman pada orang tua.

Tradisi mbarak atau silaturahim keliling ini pada dasarnya sama dengan silaturahim pada umumnya, namun terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya.

 Tradisi silaturahim keliling atau mbarak ini dilakukan oleh masyarakat dengan mendatangi rumah-rumah warga sekitar dengan berkelompok.

Yang membedakan tradisi mbarak ini berbeda dengan Halal bi Halal terletak pada pelaksaannya, yang mana dalam Halal bi Halal biasanya dilakukan acara tertentu seperti sambutan dan sebagainya.

Dan tamu yang diundang dalam Halal bi Halal memiliki kesamaan tertentu seperti satu keluarga besar, satu perusahaan, satu komunitas, dan sebagainya.

Sedangakan dalam silatuarahim keliling atau mbarak, silaturahim dilakukan serara berkelompok atau bergerombol ke rumah-rumah yang menerima tamu.

Tradisi ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempererat rasa persaudaraan umat Islam atau ukhuwah islamiyah di lingkungan keluarga dan tetangga dalam satu lingkungan masyarakat.

Di luar konteks Idul Fitri, silaturahim juga sangat penting kerena menjaga ukhuwah adalah sebuah kewajiban bagi umat muslim.

Tradisi ini juga sangat diminati oleh masyarakat mengingat setiap tahunnya momen ini selalu dinanti-nanti dan menjadi salah satu ciri khas lebaran.

Baca Juga: Apa Itu Hari Buruh Internasional? Ini Sejarah Peringatan Hari Buruh yang Diperingati Setiap Tanggal 1 Mei

Detail Silaturahim Keliling atau Mbarak

Dari pelaksanaannya tradisi silaturahim ini dilakukan pada hari pertama sampai hari ke tujuh bulan Syawal.

Namun tidak sedikit juga masyarakat yang masih terus berkunjung ke sanak saudara meski sudah lebih dari tujuh hari.

Terutama dari masyarakat pulang merantau karena harus memanfaatkan waktu sebelum mereka berangkat keluar daerah lagi.

Waktu masyarakat dalam melaksanakannya juga beragam, mulai pagi, siang, hingga malam hari, menyesuaikan dengan keadaan.

Dari segi pelakunya, tradisi ini memiliki dua golongan yakni golongan orang-orang yang berkeliling dari rumah ke rumah, dan golongan orang yang menerima tamu di rumah mereka.

Golongan berkeliling bisanya terdiri dari anak-anak hingga orang dewasa. Yang biasanya berkelompok bisa berupa kelompok anak muda atau satu keluarga.

Sedangkan golongan yang menerima tamu biasanya merupakan masyarakat lansia atau yang berhalangan untuk ikut berkeliling.

Dalam tradisi silaturahim ini juga terdapat sebuah kebiasaan “nyangoni” atau memberi angpao kepada anak-anak yang biasa dilakukan oleh orang dewasa atau yang menerima tamu.

Tradisi mbarak ini juga menjadi

Sejarah Tradisi Silaturahim Keliling atau Mbarak

Tradisi silaturahim keliling ini memiliki asal muasal yang sama dengan tradisi Halal bi Halal dan sungkeman, tetapi memiliki perbedaan selama perkembangannya.

Yang mana dalam tradisi sungkeman berorientasi pada satu keluarga saja, sedangkan dalam silaturahim lebaran ini lebih berorientasi pada tetangga sekitar dan kerabat jauh.

Tradisi silaturahim lebaran ini memiliki asal mula dari Kerajaan Surakarta yang tepatnya pada era Mangkunegoro I tahun 1930-an.

Yang mana pada masa tersebut tradisi sungkeman dilakukan oleh Pangeran Mangkunegoro I bersama para prajurit dan staff kerajaan.

Beliau biasa mengumpulkan seluruh prajurit, punggawa dan pengawalnya seusai melakukan salat Idul Fitri untuk berbaris dan sungkem pada keluarga kerajaan secara bergantian untuk bermaaf-maafan.

Selain itu pada tahun 1948, terdapat sebuah usulan dari KH Abdul Wahab Hasbullah, beliau adalah salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama.

KH Abdul Wahab Hasbullah memberi saran pada Ir. Soekarno untuk mengadakan silaturahim pada Hari Raya Idul Fitri di tahun tersebut.

Atas usulan itulah Ir. Soekarno mengadakan acara silaturahim di Istana Negara dengan mengundang sejumlah tokoh politik Indonesia, yang kemudian acara ini disebut dengan istilah “Halal bi halal”.

Yang kemudian dalam perkembangan Halal bi Halal tersebut, muncul tradisi silaturahim keliling atau biasa dikenal dengan mbarak yang berawal dari daerah kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Tradisi mbarak ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di Jawa khususnya Jawa Timur dan mempunyai banyak nama di daerah yang berbeda.

Baca Juga: Makna Emansipasi Wanita Masa Kini Sebagai Sosok Penerus Perjuangan R.A. Kartini

Nilai-Nilai dalam Tradisi Silaturahim Keliling atau Mbarak

Dari segi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, silaurahim keliling ini  memiliki banyak sekali makna dalam tradisi ini jika digali secara lebih mendalam dan terperinci. Namun secara umum nilai dari tradisi ini adalah sebagai berikut:

1. Nilai Silaturahmi

Dengan menjalin silaturahim yang baik dengan masyarakat sekitar akan menciptakan lingkungan masyarakat yang damai dan tenteram

Sesuai namanya, nilai silaturahmi sendiri merupakan nilai utama tradisi ini, karena tradisi ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi sesama muslim juga sesama manusia.

2. Nilai Sedekah

Nilai sedekah di sini dapat terlihat dari tradisi silaturahim keliling ini, bahwa biasanya pemilik rumah yang menerima tamu akan menyuguhkan makanan pada tamu-tamu yang datang.

Sedekah sendiri memiliki manfaat yang sangat banyak namun tidak dapat dirasakan secara langsung, salah satunya seperti dilipat gandakan pahalanya oleh Allah

3. Nilai Integritas Sosial

Dengan adanya komunikasi yang baik antar masyarakat dalam proses silaturahmi, dapat menciptakan sebuah integritas sosial dalam masyarakat menjadi lebih kuat.

Integritas masyarakat sangat diperlukan dalam keseharian agar tercipta masyarakat yang rukun dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.

Tradisi mbarak ini sangat diminati oleh masyarakat di bebrapa daerah di Jawa, sehingga menjadi sebuah momen ikonik yang menggambarakan Hari Raya Idul Fitri itu sendiri.*** (Mohammad Arifuddin Bastomi)

Editor: Dani Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler