Kisah Sayyidah Aisyah Selalu Membayar Hutang Puasa di Bulan Sya'ban, Berikut Hadits dan Penjelasannya

21 Februari 2023, 10:06 WIB
Bulan Sya'ban /Imad Alassiry/Unsplash

 

TRENGGALEKPEDIA.COM- Tidak lama lagi insyaallah kita akan berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan, bulan yang penuh dengan kemuliaan.

Peringatan bagi siapa saja yang masih memiliki tanggungan hutang puasa Ramadhan hendaknya segera memenuhi kewajiban yang harus ia laksanakan sesuai jumlahnya.  

Sayyidah Aisyah radlhiyallahu anha beliau merupakan orang yang mengqada’ puasa ketika sudah memasuki bulan Sya’ban. Seperti keterangan hadits dibawah ini dari Aisyah langsung:

 كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ»، قَالَ

 يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya:”Saya mempunyai tanggungan utang puasa Ramadhan. Saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Menurut Yahya, Aisyah mengqadha di bulan Sya’ban dikarenakan ia sibuk melayani Nabi Muhammad .“ (Muttafaq alaih).

Baca Juga: Amalan dan Do'a Ketika Memperingati Hari Isra Mi'raj atau Perjalanan Nabi Muhammad, Lengkap dengan Terjemahan

Pasti dibenak kalian terbesit pertanyaan seperti ini, kesibukan apa sampai membuat Aisyah tidak mampu mengqadha puasa selain di bulan Sya’ban?  

Menurut catatan Syekh Musthafa Dib al-Bugha dalam sebuah kitab Shahil al-Bukhari dan catatan Muhammad Fuad Abdul Baqi pada kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa kesibukan Aisyah adalah menyiapkan diri sepenuhnya untuk Rasulullah .

Ternyata hal seperti ini tidak hanya dilakukan Aisyah saja, bahkan seluruh istri Rasulullah juga begitu, hal ini selalu mereka lakukan untuk menjaga kebahagiaan dan keridhaan Rasulullah   Karena mereka khawatir apabila berpuasa membuat Rasulullah terhalang keinginannya.

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, maksud kesibukan dalam hadits diatas bukan berarti kesibukan yang menjadikan seseorang tidak kuat untuk berpuasa tapi lebih mengarah untuk mempersiapkan diri dalam menyenangkan Rasul saat dibutuhkan pada batas bercumbu mulai dari sentuhan atau ciuman, tidak sampai berhubungan badan.

Karena Rasul tidak tidur bersama istri yang tidak sedang dalam jatah gilirannya, maka dari itu para istri nabi tidak pernah meminta izin untuk berpuasa karena khawatir dibutuhkan oleh Rasulullah ﷺ secara mendadak.

Padahal jika mereka meminta izin kepada Rasul, pasti beliau akan mengizinkan tapi para istri sangat khawatir hal itu akan mengurangi kecintaan dan pelayanan terhadap kebutuhan Rasul.

Kenapa bulan Sya’ban yang dipilih Aisyah untuk mengqhada’ puasanya, padahal bulan tersebut sudah mepet dengan bulan Ramadhan? Aisyah memilih bulan Sya`ban karena pada bulan itu Rasul banyak menunaikan puasa sunnah.

Oleh karena itu istri-istri Rasul bergantian dalam mengqadha’ puasanya, tetapi apabila mereka sudah sampai pada bulan terakhir baru mereka meminta izin untuk mengqadha’ puasa. Syekh Musthafa Dib al-Bugha menulis :

Baca Juga: Sejarah Pujian Kepada Kanjeng Nabi Muhammad yang Akhaknya Mulia Terkandung dalam Sholawat Adfaita

  وأما في شعبان فإنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم أكثر أيامه فتتفرغ إحداهن لصومها أو تضطر لاستئذانه في الصوم لضيق الوقت عليها  

Artinya:”Adapun pada bulan Sya’ban Nabi berpuasa pada sebagian besar hari-harinya. Kemudian salah satu istri-istri Nabi meluangkan untuk berpuasa di dalamnya. Atau di antara mereka memang terdesak untuk meminta izin kepada Nabi untuk melaksanakan puasa karena waktunya sudah mepet”. (Musthafa Dib al-Bugha, Ta’liq Shahih al-Bukhari,[Daru Thuqin Najah,1422] juz 3, hal.35]

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits itu menunjukkan bahwa Sayyidah Aisyah tidak pernah melaksanakan puasa sunnah.

Karena Aisyah berpandangan bahwa untuk berpuasa sunnah bagi orang yang memiliki tanggungan puasa wajib itu tidak diperbolehkan, sedangkan dirinya mulai bulan Syawal sampai bulan Rajab masih memiliki hutang puasa Ramadhan.

قَوْلُهُ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ اسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ لَا تَتَطَوَّعُ بِشَيْءٍ مِنَ الصِّيَامِ لَا فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَا فِي عَاشُورَاءَ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ لَا تَرَى جَوَازَ صِيَامِ التَّطَوُّعِ لِمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ رَمَضَانَ  

Artinya :”Penjelasan tentang redaksi, saya tidak mampu menunaikan qadha puasa tersebut kecuali di bulan Sya’ban. Menunujukkan bahwa Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah sekalipun baik 10 hari bulan Dzul Hijjah, tidak pula 10hari di bulan Asyura’ dan lain sebagainya.Hal ini berdasarkan pandangan Aisyah yang menganggap puasa sunnah bagi orang yang masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan hukumnya tidak diperbolehkan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari li Ibni Hajar,[Beirut:Darul Ma’rifah, 1379]. Juz 4, hal.191].

Pada keterangan hadits di atas kita bisa menyimpulkan bahwa untuk mengqadha puasa Ramadhan tidak harus terburu-buru, tetapi masih bisa diperpanjang sampai bertemu bulan Ramadhan berikutnya baik saat meninggalkannya karena adanya uzur atau tidak.

Sedangkan menurut Ibnu Hajar ketika orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur, maka harus segera mengqadha’nya

Berbeda lagi dengan mereka yang meninggalkan puasa karena adanya uzur maka qadha’nya  bisa ditunda selama tidak sampai bulan Ramadhan berikutnya. Adapun hukum mempercepat waktu dalam mengqadha’ hukumnya adalah sunnah.

Keluasan waktu dalam mengqadha’ ini juga memiliki batas, apabila sudah memasuki bulan Sya’ban hendaknya segera melunasi hutang puasa Ramadhan.   

Dengan penjelasan diatas kita jadi mengetahui bagaimana kebijaksanaan Sayyidah Aisyah dalam melayani Rasulullah ﷺ.***

Editor: Dani Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler