Apa Itu Lebaran Ketupat? Berikut Sejarah dan Filosofi Ketupat Saat Idul Fitri

29 April 2022, 11:29 WIB
Ilustrasi ketupat Idul Fitri. / Pixabay

TRENGGALEKPEDIA.COM - Indonesia terdiri dari ribuan suku bangsa, bahasa serta budaya yang telah tertanam di jiwa masyarakatnya.

Salah satu budaya yang bisa dikatakan unik ialah budaya lebaran Indonesia atau yang sering dikenal dengan budaya ketupat.

Ketupat sendiri merupakan makanan khas dari Asia Tenggara yang biasanya dihidangkan pada saat hari raya lebaran.

Makanan yang asalnya dari beras ini, boleh dibilang sebagai budaya dari Indonesia juga merupakan budaya asli Jawa.

Ketupat atau kupat merupakan hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa (janur) yang masih muda.

Lebaran ketupat ialah salah satu hasil akulturasi kebudayaan Indonesia dengan Islam. Lebaran ketupat atau terkenal dengan istilah lain yakni syawalan, telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Mulai dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan juga lainnya.

Lebaran ketupat hanya bisa ditemui di budaya masyarakat Indonesia yang tujuan pelaksanaannya sama seperti tujuan hari Raya Idul Fitri, yakni saling memaafkan dan bersilaturahmi.

Istilah saling memaafkan ini, di kalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'Halal Bi Halal'.

Ketupat pastilah menjadi salah satu menu makan andalan, yang selalu ada setiap kali lebaran tiba.

Baca Juga: Sejarah Ketupat Menjadi Makanan Khas Lebaran di Indonesia dan Resep Praktis dengan Metode 5-30-7

Ketupat atau kupat ialah kependekan dari kata 'ngaku lepat' (mengaku salah), yang disimbolkan dengan anyaman daun janur kuning yang berisi beras kemudian dimasak.

Pertama kali, ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga kepada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan sebuah tradisi, yakni setelah hari raya lebaran, masyarakat setempat menganyam ketupat menggunakan daun kelapa muda kemudian disii dengan beras.

Tetapi masyarakat Jawa sebelum kedatangan islam, jauh sebelum itu nusantara telah akrab dengan hidangan yang bernama ketupat atau tipat atau apapun penamaannya, bahkan bukan tak mungkin bila ketupat sudah ada sebelum asimilasi agama Hindu.

Di pulau Bali, tipat pun sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara. Mereka mengkolaborasikan antara agama Hindu dan budaya Jawa.

Daun kulit kelapa yang masih muda di bentuk beraneka ragam yang melambangkan simbol ritual acara sembahyangan yang mempunyai makna filosofis mendalam untuk jagad makrokosmik dan mikrokosmik.

Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annual, ketupat ialah simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak awal abad ke-15 yang dipimpin Raden Patah.

De Graaf berspekulasi bahwasanya kulit ketupat yang terbuat dari janur fungsinya untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.

Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna merah dari Asia Timur dan warna hijau dari Timur Tengah.

Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa, yang membangun kekuatan politik sekaligus penyiaran agama Islam dengan dukungan Walisongo (sembilan wali).

Saat menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melangsungkan pendekatan budaya agraris, tempat unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan.

Di sinilah pentingnya akulturasi. Raden Mas Syahid, anggota Walisongo yang terkenal dengan panggilan Sunan Kalijaga, kemudian memasukkan dan memperkenalkan ketupat.

Simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat, dalam perayaan lebaran ketupat, perayaan yang dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal atau biasanya seminggu setelah hari raya Idul Fitri dan enam hari berpuasa Syawal.

Lebaran ketupat sendiri diambil dari adanya tradisi pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri atau dikenal dengan dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, serta kekayaan dan kemakmuran.

Yang merupakan dewi terpenting dan tertinggi bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak ni pada masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran.

Dalam proses itu terjadi demitologisasi dan desakralisasi. Dewi Sri tidak lagi dipuja sebagai dewa padi atau dewi kesuburan, namun hanya dijadikan sebagai lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.

Dewi Sri tetap dimuliakan dan dihormati oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Beberapa keraton di Indonesia, seperti Ubud, Surakarta Cirebon, dan Yogyakarta tetap melestarikan tradisi ini.

Contohnya dalam upacara selametan atau syukuran atas panen di Jawa, biasa disebut Grebeg Mulud atau Sekaten yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Dalam upacara ritual seperti itu, ketupat menjadi bagian dari sesajian. Hal yang sama juga terjadi dalam upacara adat di Bali.

Baca Juga: Mengenal Dakwah Islam: Pengertian, Cara dan Praktek Berdakwah Sehari-hari

Adapun pada masyarakat Jawa, ketupat seringnya digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat untuk penolak bala.

Ketupat juga bukanlah sekadar makanan yang disajikan untuk menjamu para tamu pada hari raya Idul Fitri maupun merayakan genapnya enam hari berpuasa sunah Syawal.

Sebagian masyarakat Jawa memaknai 'rumitnya' pembuatan anyaman ketupat dari janur sebagai bungkus beras, mencerminkan kesalahan yang dilakukan manusia.

Warna putih ketupat ketika dibelah melambangkan kebersihan setelah bermaaf-maafan dilakukan. Butiran-butiran beras yang dibungkus ke dalam janur ialah simbol kemakmuran dan kebersamaan.

Penggunaan janur sebagai pembungkus atau pengemas pun memiliki makna tersendiri. Janur dalam bahasa Arab yang asal katanya dari “jaa a al-nur” berarti telah datang cahaya.

Adapun masyarakat Jawa mengartikan janur dengan “sejatine nur” (cahaya). Dalam artianlebih luas yaitu keadaan suci manusia setelah memperoleh pencerahan cahaya selama bulan suci Ramadhan.

Ketupat sudah menjadi bagian dari budaya lintas suku, ras dan agama. Ketupat hadir untuk mengingatkan betapa mulia dan bijaksananya leluhur bangsa ini.

Semoga lewat tulisan ini sejarah dan filosofi dari tradisi ketupat mampu menjembatani  keaneragaman budaya yang kita punya serta mempersatukan kultur-kultur yang berbeda.*** (Ika Lestari Bhekti Utami)

Editor: Dani Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler