Dalam pertunjukan, Pak Santik menampilkan tarian (ngremo) sembari berbicara sendiri mengungkapkan isi hatinya (kidungan). Dia pandai memakai mulut untuk menyuarakan bunyi-bunyian yang mirip dengan alat musik.
Kakinya menghentak-hentak di tanah lapang sehingga bisa menimbulkan bunyi gedrak-gedruk. Dari situlah kemungkinan asal kata ludruk.
Sampai saat ini ludruk tetap bertahan karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat aktual dan akrab dengan budaya setempat. Tentu saja disampaikan dengan bahasa yang komunikatif dan disertai lawakan yang menghibur..
Karena keberadaannya yang lahir dari kebudayaan rakyat jelata, Ludruk jelas lebih merakyat daripada seni tradisional (Jawa) lain, terutama yang berasal dari kalangan Keraton.
Dengan bahasa daerah sederhana, sindiran dan kritik-kritik tajam, serta pemilihan cerita yang tidak terbatas.
Baca Juga: Pesona Taman Nasional Baluran, Little Africa In Java yang Terletak di Kabupaten Situbondo
Ludruk memiliki kekuatan komunikasi yang sangat bagus terhadap masyarakat. Kekuatan ini sejak lama disadari berbagai pihak, yang tentu saja bisa berarti positif maupun negatif bagi seni Ludruk itu sendiri.
Ludruk dapat digolongkan sebagai media seni daerah yang realis. Sebagaimana diutarakan oleh George Lukacs—penganut dan pemikir seni-seni realis—persoalan utama dalam seni adalah relasi antara seni dan realitas sehari-hari. Seni adalah karya yang memiliki daya transformasi, yakni untuk mengubah kesadaran manusia.
Seni akan menghipnotis orang kalau ia benar-benar indah. Keindahan baru akan terlihat jika seni secara jujur menampilkan kebenaran. Sementara kebenaran, dalam realitas sosial, adalah sebuah kenyataan adanya penderitaan, keterasingan, dan kecacatan manusia
(dalam Ibe Karyanto, 1997:97).